Para Pemuda di Awal Pergerakan Nasional (Bondan Kanumoyoso)
Para
Pemuda di Awal Pergerakan Nasional
Budi
Utomo dan Perhimpunan Indonesia
Bondan
Kanumoyoso
Universitas
Indonesia
Pengantar
Menjelang
akhir abad ke-19 berbagai perubahan besar melanda kawasan Asia Tenggara.
Perancis memperkuat dominasinya atas Laos dan Kamboja, Inggris memperkukuh
kekuasaannya di Burma, Semenanjung Malaya, dan Singapura, sementara perang
antara Spanyol dan Amerika tahun 1898 berhasil memerdekakan Filipina, namun
menyebabkan negara tersebut jatuh di bawah kekuasaan Amerika Serikat. Periode
ini merupakan masa reposisi berbagai kekuatan kolonial, dimana kawasan-kawasan
pengaruh berbagai kekuatan dunia menjadi semakin jelas.
Berbagai perubahan yang terjadi di
kawasan Asia Tenggara membuat pemerintah kolonial Belanda memikirkan ulang legitimasi
yang mereka miliki untuk memerintah Hindia Belanda. Kebijakan Politik Liberal
yang diterapkan sejak tahun 1870 tidak berhasil mengangkat taraf kehidupan
rakyat. Apa yang terjadi justru ekspansi modal swasta yang melakukan penetrasi
hingga ke tingkat pedesaan. Usaha-usaha yang dilakukan pemerintah untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat jauh tertinggal oleh laju pertumbuhan
penduduk yang cepat, terutama di Jawa.
Abad ke-19 adalah juga masa
perluasan kekuasaan negara kolonial Hindia Belanda. Jika paruh pertama abad
ke-19 Belanda lebih banyak melakukan konsolidasi kekuasaan teritorial di Jawa,
maka sejak paruh kedua abad ke-19 perluasan kekuasaan mulai diarahkan ke
pulau-pulau di luar Jawa. Berbagai perang kolonial untuk menyatukan Hindia
Belanda dilakukan sampai awal abad ke-20. Diantaranya adalah penaklukkan Aceh
yang berakhir pada tahun 1904 dan serangan ke Kerajaan Badung di Bali pada
tahun 1906. Dengan berakhirnya Perang di Bali dapat dikatakan seluruh Hindia
Belanda telah disatukan dan Belanda dapat menyatakan bahwa mereka telah
mewujudkan Pax Neerlandica.
Di
tengah keberhasilan penyatuan wilayah koloni Hindia Belanda, mulai muncul
tuntutan dari kelompok liberal di Belanda untuk adanya perbaikan nasib penduduk
pribumi. Tuntutan itu diformulasikan dalam suatu kebijakan yang disebut dengan
Politik Etis. Kebijakan Politik Etis pertama kali dikemukakan oleh Ratu
Belanda, Wilhelmina, pada tahun 1901. Tujuan utama dari Politik Etis adalah
meningkatkan kesejahteraan penduduk pribumi dan menumbuhkan otonomi dan
desentralisasi politik di Hindia Belanda. Untuk mencapai tujuan tersebut
pemerintah kolonial memperkenalkan program “Irigasi, Migrasi, dan Edukasi”.
Irigasi adalah program yang
berkaitan dengan perbaikan dalam kegiatan pertanian. Sedangkan Migrasi ialah
kebijakan untuk memindahkan penduduk dari daerah yang dilanda bencana
kekeringan dan kelaparan ke daerah-daerah yang masih belum digarap, seperti di
Lampung. Sedangkan edukasi adalah kebijakan untuk memperkenalkan pendidikan
modern kepada para pemuda dan pemudi bumi putera. Melalui program edukasi maka
terbuka kesempatan bagi penduduk bumi putera untuk mendapat pendidikan modern.
Sistem Pendidikan di Hindia Belanda
Sistem
pendidikan Hindia Belanda secara garis besar terbagi menjadi dua. Pertama
adalah sistem pendidikan untuk orang Eropa dan kelompok-kelompok masyarakat
yang kedudukannya disetarakan dengan orang Eropa. Kedua adalah sistem
pendidikan yang ditujukan untuk mendidik orang bumi putera. Untuk pendidikan
dasar bagi anak bumi putera dimulai dari jenjang HIS (Holland Inlander School) yang dapat ditempuh dalam tujuh tahun.
Sedangkan anak-anak Eropa menempuh pendidikan dasarnya di ELS (Europesche Lagere School) yang
diselesaikan dalam lima tahun. Setamat HIS murid-murid dapat melanjutkan ke
MULO dan selanjutnya ke AMS, sedangkan tamatan ELS dapat melanjutkan ke HBS (Hogere Burger School). Pintu sekolah
tinggi terbuka bagi mereka yang tamat dari AMS dan HBS.
Pada tahun 1900 terdapat enam Hoofdenschoolen (Sekolah Kepala). Keenam
sekolah tersebut terdapat di Serang, Bandung, Magelang, Madiun, Blitar, dan
Probolinggo. Dalam perkembangannya Hoofdenschoolen
direorganisasi dan diganti namanya menjadi OSVIA (Opleidingschoolen voor Inlandsche Ambtenaren, Sekolah Pegawai
Pribumi). Di tahun 1902 Sekolah Dokter Djawa di Weltevreden berganti nama
menjadi STOVIA (School tot Opleidingvan
Inlandsche Aartsen). Sekolah Dokter Hewan didirikan di Bogor pada tahun
1907. Sekolah Tinggi Hukum (Recht Hoge
School) didirikan di Batavia pada tahun 1908. Sekolah Menengah Pertanian
dimulai pada tahun 1903. Sekolah Keguruan (Kweekschool)
berdiri sejak tahun 1906
Selain dengan menyekolahkan
anak-anaknya di sekolah tinggi yang ada di Hindia Belanda, usaha untuk
mendapatkan pendidikan modern bagi kalangan pribumi dilakukan dengan mengirim
anak-anak mereka untuk belajar di negeri Belanda. Untuk dapat melanjutkan
pendidikan ke Belanda diperlukan biaya yang besar. Karena besarnya biaya yang
diperlukan, tidak banyak pemuda Indonesia yang bisa melanjutkan pendidikannya
ke Eropa. Diantara para pemuda yang belajar di Belanda di awal abad ke-20
adalah Sosro Kartono, Hussein Djajadiningrat, dan Abdul Rivai. Dari tahun ke
tahun jumlah pemuda bumi putera yang pergi belajar ke Belanda semakin banyak,
dan mereka inilah yang kemudian menjadi pendukung Perhimpunan Indonesia.
Berdirinya Budi Utomo
Pada
awal abad ke-20 Dr. Wahidin Sudiro Husodo menggagas pengumpulan dana bagi
pendidikan para pemuda Jawa. Untuk mendapatkan dukungan bagi gagasannya Dr.
Wahidin berkeliling Jawa dan melakukan berbagai pertemuan untuk mendapatkan
dukungan. Salah satu kota yang menjadi tujuan Dr. Wahidin dalam memperkenalkan
gagasannya adalah Batavia. Di Batavia gagasan Dr. Wahidin disambut dan
dikembangkan menjadi salah satu organisasi pertama dalam dunia pergerakan yaitu
: Budi Utomo.
Pelopor Budi Utomo di kalangan siswa
STOVIA adalah Soetomo dan Soeradji. Budi Utomo berdiri dalam pertemuan di aula
STOVIA pada hari minggu tanggal 20 Mei 1908. Selain siswa sekolah ini para pemuda
yang hadir dalam peresmian Budi Utomo adalah siswa Sekolah Pertanian dan
Kehewanan di Bogor, siswa Sekolah Menengah Petang di Surabaya, dan siswa
Sekolah Pendidikan Guru di Bandung, Yogyakarta, dan Probolinggo.
Diantara para pemuda STOVIA
pendukung Budi Utomo terdapat nama-nama seperti Goenawan Mangoenkoesoemo,
Soewarno, Gombreng, Mohammad Saleh, dan Soelaiman. Berbeda dengan Wahidin yang
mencari dukungan dari pejabat pribumi, para anggota Budi Utomo menyebarkan
gagasan mereka ke sesama siswa di sekolah-sekolah lanjutan lainnya. Dalam bulan
Juli 1908 jumlah anggota Budi Utomo telah mencapai 650 orang. Karena jumlahnya
yang sedikit, murid STOVIA merupakan minoritas dalam organisasi ini.
Sebagai organisasi yang anggotanya
adalah pemuda yang sedang menempuh pendidikan, Budi Utomo menemui hambatan
untuk berkembang secara maksimal. Hal itu karena para pemuda STOVIA yang
menjadi motor penggerak organisasi ini dituntut untuk mampu memadukan kegiatan
organisasi dan kegiatan belajar. Tanggung jawab sebagai siswa yang ingin
mencapai jenjang pendidikan yang lebih tinggi, pada akhirnya menyebabkan mereka
tidak bisa mencurahkan waktu sepenuhnya untuk organisasi.
Konggres Pertama Budi Utomo
Konggres
pertama Budi Utomo diselenggarakan dari tanggal 3 sampai 5 Oktober 1908 di
Yogyakarta. Jumlah peserta yang hadir ada sekitar 300 orang dari seluruh
penjuru Jawa yang sebagian besar terdiri dari para priyayi. Selain para pemuda
STOVIA konggres ini juga dihadiri oleh Sri Pakualam V dan putranya Pangeran
Ario Noto Dirodjo. Keluarga kepangeranan Pakualam di Yogyakarta dikenal sebagai
keluarga bangsawan Jawa yang progresif, dalam artian banyak diantara mereka
yang mengirimkan anaknya untuk menempuh pendidikan modern. Diantara tokoh-tokoh
pergerakan nasional yang berasal dari keluarga Pakualam adalah Suwardi
Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantara dan Suryopranoto.
Konggres Budi Utomo di Yogyakarta
dibuka dengan pidato pembukaan dari tokoh yang menginspirasi berdirinya
organisasi ini, yaitu Dr. Wahidin. Dalam pidato pembukanya Dr. Wahidin
mengemukakan masalah pengajaran yang memerlukan biaya besar, sehingga tidak
terjangkau oleh kebanyakan orang tua. Salah satu perwakilan STOVIA yang
menyampaikan pidato adalah Goenawan. Ia mengemukakan pandangan yang berbeda
dengan Wahidin dengan mengemukakan bahwa kebutuhan untuk adanya sekolah-sekolah
desa tambahan lebih mendesak daripada masalah beasiswa. Sementara itu, dalam
pidatonya Soetomo mengajukan pendapat tentang pentingnya pendidikan dasar di
dalam setiap program menyeluruh bagi pendidikan di berbagai bidang.
Pendapat yang lebih radikal, yaitu
menyuarakan dengan kuat adanya kesadaran politik disuarakan oleh Tjipto
Mangunkusumo. Tokoh ini menginginkan Budi Utomo menjadi partai politik dan
bukan sekedar organisasi pendidikan dan kebudayaan. Bagi Tjipto organisasi
politik akan dapat lebih efektif dalam memperjuangkan kepentingan kaum bumi
putera dalam rangkai memperbaiki nasib dan taraf hidup mereka. Pendapat yang
bernuansa semangat perlawanan terhadap dominasi kekuasaan kolonial ini berbeda dengan
pendapat mayoritas peserta konggres yang adalah para pejabat pribumi. Mereka
tidak ingin Budi Utomo menjadi organisasi politik, karena akan membawa
konsekuensi yaitu kemungkinan berhadapan langsung dengan pemerintah kolonial.
Hal penting lain yang juga dikemukakan Tjipto adalah pentingnya pendidikan
untuk seluruh rakyat Hindia Belanda.
Dengan demikian ada dua gagasan
utama yang berkaitan dengan pendidikan yang muncul dalam konggres pertama Budi
Utomo, yaitu pendidikan bagi kalangan elit dan pendidikan bagi kalangan rakyat
biasa. Gagasan pertama didukung oleh Wahidin, Dokter Radjiman, dan Dwidjosewojo
yang menekankan pentingnya pendidikan dari atas dalam arti pendidikan bagi
priyayi. Gagasan kedua didukung oleh Soetomo, Goenawan, dan Tjipto Mangoenkoesomo
yang mementingkan pendidikan dari bawah dalam artian pendidikan yang dapat
dinikmati oleh seluruh rakyat Hindia Belanda.
Surutnya Peran Pemuda Dalam Budi
Utomo
Kepengurusan
hasil konggres pertama didominasi oleh para priyayi dan pejabat tinggi bumi putera.
Hal ini karena mayoritas dari peserta konggres bukanlah para pemuda, melainkan
para priyayi. Sebagai hasil konggres bupati Karanganyar TirtoKoesoemo terpilih
sebagai ketua. Setelah perdebatan panjang selama setahun, Budi Utomo pada
akhirnya memutuskan bahwa lingkup kegiatannya terbatas pada penduduk pribumi
Jawa dan Madura.
Keputusan ini membuat kecewa dua
orang pengurus Budi Utomo, yaitu Tjipto Mangoenkoesomo dan Soerjodipoetro yang
memutuskan mundur dari kepengurusan. Program pendidikan yang diutamakan oleh
organisasi ini adalah pendidikan Barat. Prioritas diberikan pada penguasaan
Bahasa Belanda sebagai kemampuan yang sangat penting dikuasai untuk mendapat
kedudukan yang baik dalam birokrasi kolonial. Orientasi kepada jabatan dalam
birokrasi kolonial menunjukkan orientasi Budi Utomo yang lebih mengarah kepada
organisasi konservatif, yaitu menginginkan dipertahankannya tatanan yang ada.
Jikapun harus ada perubahan, maka perubahan itu jangan sampai merusak kedudukan
yang selama ini telah dinikmati oleh para priyayi dan bangsawan Jawa.
Setelah konggres kedua di Yogyakarta
(10-11 Oktober 1909) organisasi ini semakin didominasi oleh para priyayi.
Ketiadaan pemimpin yang dinamis dan corak organisasi yang konservatif telah
menjerumuskan Budi Utomo dalam kemandekan. Kecewa dengan segala yang terjadi,
para siswa STOVIA dan para anggota muda lainnya mengundurkan diri dari
organisasi ini. Dengan mundurnya para pemuda dari Budi Utomo organisasi ini
kehilangan motor penggerak utamanya. Para pemuda adalah kelompok yang paling
dinamis yang ada dalam masyarakat. Sebagai kelompok yang belum mencapai
kemapaman mereka menginginkan perubahan dan karena itu sebagai kelompok mereka
memiliki karakter yang dinamis. Ketiadaan dana dan ketidakpopuleran menyebabkan
Budi Utomo semakin mengecil sebelum akhirnya melebur ke dalam Partai Indonesia
Raya (Parindra) pada tahun 1935
Indische
Vereniging
Sejak
awal abad ke-20 mulai ada Pemuda dari Indonesia pergi ke Belanda untuk
pendidikan mereka ke jenjang yang lebih tinggi. Semakin banyaknya jumlah mereka
memunculkan kebutuhan untuk mendirikan perkumpulan yang dapat dijadikan tempat
untuk berhimpun. Perkumpulan ini terbentuk pada tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging (IV). Pada
tahun-tahun awal berdirinya IV bercorak moderat dan lebih merupakan perkumpulan
sosial tempat mahasiswa melewatkan waktu senggang dan saling bertukar informasi
terbaru yang datang dari Tanah Air. Hal ini bisa dimengerti karena ketika itu
jumlah mereka belumlah banyak, dan mereka yang menjadi anggota IV di tahun-tahun
awal ini sebelum berangkat ke Belanda kebanyakan memang tidak pernah bergabung
dengan organisasi apapun.
Karakter IV mulai berubah dnegan
kedatangan para pemimpin Indische Partij (IP)
yang dibuang ke Belanda pada tahun 1913 atas perintah Gubernur Jenderal
Idenburg. Para pemimpin Indische Partij tersebut terdiri dari : Douwes Dekker
atau kemudian dikenal sebagai Setiabudi Danudirdja, Tjipto Mangunkusumo, dan
Suwandi Suryaningrat. Mereka diasingkan ke Belanda karena dikuatirkan gagasan
revolusioner yang mereka perjuangkan akan menyebar ke seluruh Hindia Belanda
dan mempengaruhi masyarakat sehingga membahayakan kekuasaan pemerintah
kolonial.
Pengaruh kedatangan pemimpin IP
terutama terlihat dengan terbitnya jurnal IV yang diberi nama Hindia Poetra.
Anggota IV mulai terlibat dalam aktivitas politik dan pada tahun 1916.
Keterlibatan dalam kegiatan politik terlihat jelas ketika beberapa anggota IV
ikut dalam pemilihan untuk Majelis Parlemen Belanda mewakili kelompok sosialis.
Suatu era baru dalam IV terjadi pada
tahun-tahun awal setelah berakhirnya Perang Dunia Pertama (1914-1917).
Perubahan itu diawali dengan kedatangan para mahasiswa baru yang jumlahnya
melebihi jumlah keseluruhan mahasiswa Indonesia yang belajar di sana sampai
saat itu. Diantara para pemuda Indonesia yang baru datang itu terdapat para
pemuda yang sudah terbiasa aktif dalam kegiatan organisasi. Diantara mereka itu
adakag Soetomo, Hatta, Sartono, Ali Sastroamidjojo, Iwa Kusumasumantri, dan
lain-lainnya. Para pemuda yang baru datang memiliki kesadaran politik yang
lebih tinggi dari pada pemuda sebelumnya. Sebelum berangkat ke Belanda. Mereka
telah menyiapkan diri untuk terlibat dalam kegiatan politik yang bertujuan
untuk memperbaiki nasib kaum bumi putera di tanah koloni
Perhimpunan Indonesia
Dengan
bekal pengalaman berorganisasi para pemuda yang baru datang dengan cepat
mendominasi IV dan merubah orientasinya menjadi organisasi politik. Indonesische Vereeniging atau
Perhimpunan Indonesia berdiri pada tahun 1922 bersamaan dengan terpilihnya para
pengurus baru. Seluruh pengurus baru terdiri dari para mahasiswa yang belum
lama sampai di Belanda
Dalam pidato yang diucapkan pada
rapat umum PI di bulan Januari 1923, Iwa Kusumasumantri sebagai ketua baru
menyampaikan tiga azas pokok organisasi ini. Pertama, Indonesia ingin
menentukan nasib sendiri. Kedua, agar dapat menentukan nasib sendiri, bangsa
Indonesia harus mengandalkan diri pada kekuatan dan kemampuannya sendiri.
Ketiga, dengan tujuan melawan Belanda, bangsa Indonesia harus bersatu. Tiga
azas pokok PI dengan jelas memperlihatkan kesadaran tentang realitas penjajahan
yang dialami rakyat Indonesia dan keinginan para pemuda anggota PI untuk
membebaskan rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan.
Pada bulan Maret 1924 jurnal resmi
PI berganti nama dari Hindia Poetra menjadi
Indonesia Merdeka. Kata Indonesia
digunakan oleh PI untuk mengungkapkan sikap mereka sebagai orang Indonesia dan
bukan lagi bagian dari Hindia Belanda. Sedangkan kata merdeka merupakan kata
yang mengungkapkan keinginan untuk dapat hidup bebas dalam menentukan nasib
sendiri dan berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lainnya. Dalam kata pengantar
majalah ini disebutkan bahwa Indonesia Merdeka untuk seterusnya akan menjadi
semboyan perjuangan pemuda Indonesia.
Meningkatnya Peran Politik
Perhimpunan Indonesia
Setahun
setelah kedatangannya di Belanda, Hatta mulai menjadi motor penggerak utama PI.
Karakternya yang kuat dan sikapnya yang menentang ketidakadilan membuatnya
dihormati di kalangan mahasiswa. Hatta dan para pengurus PI lainnya menyadari
bahwa para pemuda Indonesia yang belajar di negeri Belanda adalah kelompok
intelektual baru di tanah air mereka. Karena itu mereka mengembangkan persepsi
kuat tentang peranan organisasi mereka di Belanda dan di dalam kerangka yang lebih
luas dari gerakan nasionalis secara keseluruhan.
Sebagai organisasi yang secara tegas
bercorak anti kolonial PI mengembangkan suatu ideologi nasionalis yang baru,
yang khas Indonesia, bebas dari batasan apakah itu Islam atau komunisme. Ada
empat pokok pikiran yang dikembangkan dalam ideologi Nasionalis yang
dikembangkan PI. Keempat pokok pikiran itu adalah :
1. Kesatuan Nasional,
perlunya mengesampingkan segala perbedaan untuk membentuk satu front kesatuan
melawan Belanda.
2. Solidaritas,
menghindari perbedaan diantara orang Indonesia, dan perlunya kaum nasionalis
mempertajam konflik ras sawo matang dan kulit putih.
3. Nookooperasi,
perlunya menyadari bahwa kemerdekaan tidak akan diberikan secara cuma-cuma oleh
Belanda melainkan harus direbut oleh bangsa Indonesia sendiri.
4. Swadaya,
mengandalkan kekuatan sendiri untuk membangun alternatif struktur sosial,
politik, dan hukum yang berakar kuat dalam masyarakat Indonesia.
Keterlibatan Dalam Konggres
Internasional dan Kemunduran
Pada
tanggal 17 Januari 1926, Hatta terpilih menjadi ketua PI. Dalam pidato
sambutannya Hatta mengemukakan bahwa kekuasaan kolonial hanya dapat diakhiri
dengan direbutnya kemerdekaan oleh negeri-negeri yang terjajah. Untuk dapat
merebut kemerdekaan suatu kerjasama dengan penguasa kolonial tidak mungkin
dilakukan. Kemenangan kaum nasionalis hanya dapat dicapai melalui suatu
organisasi yang kuat. Tekanan yang diberikan kepada organisasi dan pembinaan
para kader yang sadar politik untuk selanjutnya menjadi tema yang konsisten
dari pandangan politik Hatta.
Pada bulan Agustus 1926, PI mengirim
utusan untuk menghadiri Konggres Demokrasi Internasional Untuk Perdamaian yang
disponsori oleh Comintern di Bierville, Perancis. Kehadiran PI merupakan bentuk
pengakuan pertama yang didapat oleh organisasi Indonesia dalam suatu forum
internasional sebagai wakil bangsa Indonesia dan bukan Hindia Belanda. Pada
bulan Februari 1927, PI kembali mengirim wakil-wakilnya, dengan Hatta sebagai
ketua delegasi, ke konggres yang diselenggarakan oleh Liga Menentang Imperialisme
dan Penindasan Kolonial di Brussels, Belgia. Dalam konggres di Brussels
delegasi PI berkesempatan bertemu dengan Jawaharal Nehru yang mewakili Konggres
Nasional India, dan delegasi Kuomintang yang mewakili China.
Sejak tahun 1928 PI mulai mengalami
kemunduran. Pada akhir tahun 1927 kebanyakan mahasiswa yang menjadi penggerak
PI telah menyelesaikan studi dan pulang ke tanah air. Masalah lainnya adalah
menurunnya jumlah beasiswa yang disediakan pemerintah kolonial untuk mahasiswa
yang ingin belajar ke Belanda. Aktivitas mahasiswa Indonesia dalam PI menjadi
catatan penting Penasihat Urusan Kemahasiswaan dan Menteri Jajahan bahwa
gagasan yang buruk untuk mengirim sejumlah besar mahasiswa ke Belanda atas
biaya pemerintah. Pada awal tahun 1930 peranan PI sebagai organisasi pemimpin
gerakan nasionalis di luar Indonesia berakhir ketika kepemimpinannya didominasi
oleh para mahasiswa penganut paham komunis.
Penutup
Budi
Utomo merupakan protagonis dari gerakan nasionalisme Indonesia ketika
organisasi ini masih dikendalikan oleh para pemuda STOVIA. Gagasan para siswa
yang diartikulasikan oleh Soetomo dan Goenawan tentang pendidikan bagi seluruh
rakyat Hindia Belanda mencerminkan kesadaran mereka bahwa hak untuk mendapat
pendidikan harus diberikan seluas-luasnya dan tidak dibatasi oleh hirarki
sosial.
Gagasan ini mengandung prinsip
kesamaan kesempatan yang merupakan dasar bagi terbentuknya suatu negara modern.
Meskipun Budi Utomo yang mencita-citakan kemajuan bagi seluruh rakyat Indonesia
hanya berumur beberapa bulan, namun gagasan mereka telah mengilhami berbagai
organisasi sosial politik yang muncul kemudian untuk menempatkan pendidikan
rakyat sebagai salah satu program dasar mereka.
Berbeda dengan Budi Utomo yang
berjuang di lapangan kebudayaan dan pendidikan. PI secara tegas memutuskan
untuk berjuang di jalur politik. Suasana politik yang relatif lebih bebas di
Belanda memungkinkan para pemuda untuk mengkritisi segala ketimpangan dan
ketidakadilan yang dialami oleh rakyat Indonesia. Ideologi nasionalisme yang
dikembangkan oleh PI dapat merumuskan secara jelas bahwa permasalahan yang
dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah kekuasaan kolonial yang membelunggu.
Untuk dapat melepaskan diri dari belenggu kolonial PI meyakini tidak ada cara
lain selain dengan melawannya dengan berlandaskan pada kekuatan sendiri.
Daftar Pustaka
Hatta,
Mohammad, Permulaan Pergerakan Nasional,
Jakarta : Yayasan Idayu, 1980.
Ingleson,
John, Perhimpunan Indonesia dan
Pergerakan Kebangsaan, Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1993.
Nagazumi,
Akira, Bangkitnya Nasionalisme Indonesia
: Budi Utomo 1908-1918, Jakarta : Grafitipers,
1989.
Niel,
Robert van, Munculnya Elit Modern
Indonesia, Jakarta : Pustaka, 2009.
Ricklefs,
M.C., Sejarah Indonesia Modern 1200-2008,
Jakarta : Serambi, 2008.
Comments
Post a Comment